Berikut sumbangan dari teman. Tulisan ini diberikan beliau pada jadwal menulis di lembaga pengkajian.
Kalimantan adalah sebuah dunia dengan kebudayaan eksotis,
hutan-hutan rimba yang lebat, dan potensi tambang yang berharga. Banyak
mitos mengelilingi pulau ini, dan banyak pula temuan tak terduga yang
mengundang decak kagum. Baru-baru ini kita dikejutkan penemuan gajah
Kalimantan, beberapa fauna unik tiada banding di dunia, dan berita
pembantaian orangutan. Berikut akan saya ceritakan bagaimana kehidupan
di pedalaman Kalimantan dari masa ke masa.
Tahun 2003
Pernah
beberapa tahun lalu saya diajak teman saya mengunjungi orang tuanya di
sebuah desa pedalaman Kabupaten Landak. Kami berangkat pagi hari dari
Pontianak menggunakan sepeda motor, dan melintasi jalan raya yang biasa.
Sekitar tengah hari, kami sampai di sebuah
daerah pedesaan di pedalaman Ngabang, terletak dengan indahnya di
sebuah dataran tinggi pegunungan, dan mempersembahkan pemandangan
pegunungan di pedalaman Kalimantan ini. Di sini saya bisa melihat
kehidupan masyarakat yang jauh berbeda dengan di Jawa. Babi dan anjing
mudah ditemukan di pinggir dan bahkan di tengah jalan raya. Kadang kami
berpapasan dengan beberapa anak berseragam sekolah dengan tanpa memakai
sendal, berjalan mendaki dan menuruni bukit dengan kiri-kanannya hutan
lebat. Turun dari bukit ini, kami melihat ibu-ibu menggendong keranjang
khas, tampak tangguh menyisir jalan raya. Melihat pemandangan kiri kanan
sangat menyenangkan. Beberapa pohon besar dibawahnya diletakkan
sesajen, terletak rapi di kaki pohon, dan kadang tertutup belukar,
pertanda tidak pernah diganggu sejak diletakkan di sana. Beberapa pohon
raksasa yang sangat tinggi, lurus sempurna, dan berkulit licin, serta
tanpa sebuah dahan pun sampai ketinggian setidaknya 20 meter. Pohon
besar ini ibarat sebuah air mancur atau kembang api yang muncul dari
dasar hutan, atau sebuah sulur yang setengah mati mencoba menggapai
udara dari sesaknya rimba, hingga akhirnya berteriak terbebas sambil
melontarkan semua kegembiraannya ke segala arah begitu lepas dari kanopi
pohon tertinggi di hutan tersebut.
Menjelang
sore kami tiba di sebuah kebun sawit, terletak di ujung jalan kerikil
dan berliku-liku, tetapi dipagari oleh sungai berbatu di kiri dan rumah
di selingi pohon buah di kanan. Desa asal temanku berada di belakang
kebun sawit tersebut. Jalan masuk ke desa harus menembus kebun sawit dan
sebuah jalan dari lumpur kuning membentang untuk siap kami lewati.
Jalan masuk ini terlihat kolosal dengan dindingnya terbuat dari bukit
yang dibelah. Jika diperhatikan dengan teliti, terlihat
lengkung-lengkung bekas permukaan air dalam potongan bukit tersebut,
menggambarkan sejarah geologis yang panjang dari daerah ini.
Menelusuri jalan lumpur kuning menuju rumah
merupakan pekerjaan yang sangat berat. Sepeda motor kami terbenam
berkali-kali hingga ke mesin. Ketika kami harus turun, lumpur menelan
kaki kami hingga ke lutut. Tetapi beberapa penduduk setempat, dengan
motor, juga tampak tak terlalu merasa kesusahan melewati jalan ini.
Bagaimana para pekerja sawit melewati jalan ini, pikirku. Dan jawabannya
segera muncul, sebuah traktor besar melintasi mengangkut sekitar 20
orang karyawan, kebanyakan perempuan, lewat dengan gagah, menembus
lumpur dan menyisakan bekas ban yang dapat ditelusuri para pengendara
motor seperti kami, sesaat sebelum bekas tersebut tertelan lumpur
kembali.
Entah berapa panjang jalan
ini, karena di kiri kanan selalu sama, pohon sawit yang masih muda,
menghiasi perbukitan, dan sesekali rawa hitam yang memberikan kesan
misterius. Sempat diperjalanan kami berpapasan dengan buldoser besar
sedang membabat hutan dengan angkuh. Ada juga banyak bekas tunggul dan
beberapa mobil strada, sebuah pick up besar buatan Jerman dengan roda
kekar melewati kami. Beberapa mobil ini diadaptasi menjadi semacam
angkot, dan selain traktor besar tadi, mobil inilah tampaknya
transportasi masyarakat keluar masuk desa tanpa harus terbenam di lumpur
tebal.
Segera setelah melewati
perumahan karyawan, kami berjumpa dengan jalanan yang mulai biasa. Jalan
setapak dari tanah dengan beberapa titian bambu untuk
melintasi sungai kecil berbatu. Di seberang terdapat jalan yang cukup
besar dengan kiri kanannya menjuntai bambu besar dan sesekali pula
pepohonan.
Jauh di sore hari kami
mencapai desa temanku, terletak di bagian paling ujung kebun sawit,
dihimpit oleh sungai yang cukup besar dan hutan rimba. Desanya lega,
bersih dan nyaman, banyak anak-anak berlarian, para pemuda, dan
orang-orang tua. Aroma ini semakin semarak dengan banyaknya hewan ternak
yang berkeliaran bebas di jalan desa: babi, sapi, ayam, anjing,
kambing, bahkan beberapa ekor ular kecil dapat saya temukan di wilayah
desa ini. Penduduknya sangat ramah dan rumah-rumah mereka cukup kecil,
masing-masing menampung satu keluarga. Tidak ada listrik di sini,
satu-satunya rumah berlistrik adalah rumah kepala desa, itupun
dinyalakan sekitar jam 6 hingga 9 petang. Saat ini, warga sekitar desa
akan datang berkunjung dan menonton televisi beramai-ramai.
Pada pagi hari, akan ada banyak orang
dewasa pergi ke kebun sawit. Pekerjaan mereka sekarang adalah menjadi
buruh kelapa sawit. Banyak di antara mereka adalah para mandor yang
jabatannya cukup tinggi di kalangan buruh. Tampaknya perusahaan
memberdayakan masyarakat sekitar untuk menjamin keamanannya dan
mengimpor buruh kelas terbawah dari luar daerah, sehingga tidak ada
kecemburuan ekonomi di wilayah ini.
Sungai
yang berada di desa ini sangat menyegarkan. Airnya kehitaman, dengan
batu-batu kecil di dasarnya. Air yang deras menyulitkan saya untuk
berenang, namun tidak bagi anak-anak kecil yang dengan sangat gembiranya
berlompatan bermain hingga ke tengah sungai, tanpa takut hanyut terbawa
arus. Di ujung sungai yang terlihat di desa ini, terdapat sebuah daerah
gelap yang memunculkan nuansa kengerian. Airnya hitam pekat, selain
karena sifat dasar airnya, juga karena bayangan dari pohon-pohon lebat
dan dahan-dahan yang menjuntai menutupi langit di atas air di wilayah
tersebut. Tidak ada yang berani berenang ke sana, tetapi beberapa sampan
milik warga sekitar sesekali menerobosnya dan lenyap dalam kegelapan
rimba. Mungkin di seberang sana ada sebuah muara menuju sungai yang
lebih besar, tetapi tidak adanya sampah dan segarnya air membuat saya
betah berendam di sungai ini, melebihi siapapun yang mandi di sana saat
itu.
Keanekaragaman hayati yang ada
di sini mencerminkan sebuah pergulatan besar. Setiap jengkal tanah yang
ada, dimakan oleh berbagai jenis tumbuhan, saling mencekik dan
menginjak, berjuang mencapai udara tertinggi. Dalam rimba di pinggiran
desa, kita dapat menyaksikan indahnya anggrek bulan berjuntaian, namun
juga dapat melihat seramnya pohon yang tumbuh di atas dahan pohon lain.
Akarnya menjulur mengejar tanah, rantingnya menusuk pohon tempatnya
berpijak, dan kanopinya mendorong terus ke atas mengejar atmosfer. Ada
sebuah kemiripan nyata antara pola persaingan antara pepohonan dengan
bangunan-bangunan kokoh buatan manusia di kota. Istilah hutan rimba
dapat dipertukarkan dengan kota rimba, dan prinsipnya tetap berlaku,
perebutan lahan yang sempit dengan menjulangkan diri ke udara
setinggi-tingginya. Jika di hutan rimba anda melihat banyak semut dan
serangga aneka jenis berjalan menelusuri lantai hutan dan mendaki batang
pohon raksasa, maka di kota rimba, anda melihat banyak manusia dan
kendaraan aneka jenis berjalan menelusuri jalan raya dan gang-gang
sempit diantara beton-beton menjulang. Saya malah membayangkan kalau
setiap pohon di hutan rimba diganti menjadi bangunan dan setiap bangunan
di kota buatan manusia diubah menjadi pohon.
Deskripsi di atas menunjukkan bagaimana masyarakat pedalaman
di masa modern, setidaknya awal abad ke-21 ini. Jika kita mundur 150
tahun lalu, daerah ini akan lebih tradisional.
Tahun
1853
Alfred Russel Wallace,
seorang biologiwan terkemuka dari Inggris telah mendokumentasikan dalam
bukunya The Malay Archipelago mengenai bagaimana kehidupan
masyarakat lokal Kalimantan. Walaupun gambarannya hanya mengenai wilayah
jajahan Inggris di Serawak, hal ini dapat memberikan kepada kita
kilasan bagaimana kehidupan masyarakat 150 tahun lalu.
Hutan dataran rendah Kalimantan pada masa
itu adalah hutan yang penuh dengan orangutan. Hewan-hewan ini dipandang
hama bagi masyarakat sekitar. Masyarakat sendiri umumnya hidup dari
berkebun, terutama pohon durian, beternak, dan berladang. Orang utan
sering mencuri buah durian di pohon mereka untuk dimakan, dan selalu
lebih banyak bagian enak dari buah ini yang dibuang daripada dimakan.
Bisa dibayangkan betapa kuatnya orang utan ketika ia mampu mengupas
kulit durian tanpa alat, langsung di atas pohonnya. Ketika diusir,
mereka dapat menjatuhkan durian muda dan karena pohon durian adalah
pohon-pohon besar, hal ini berbahaya bagi siapapun yang ada di bawahnya.
Apabila tidak ada buah, maka dahan pohon mereka yang mereka jatuhkan,
untuk mengusir manusia.
Saya pernah
menuturkan tentang pohon raksasa yang seperti kembang api di hutan
tersebut. Wallace menceritakan bahwa masyarakat lokal dapat dengan mudah
memanjat pohon tersebut. Masyarakat memanjatnya dengan membuat
pasak-pasak yang disambungkan dengan bambu, sehingga menjadi tangga.
Wallace merupakan tokoh yang dihormati
karena pekerjaannya adalah berburu orang utan. Sesuai penuturan Wallace,
sebagai ucapan terima kasih, ia pernah diberi jamuan makan sebagai
hadiah baginya oleh penduduk setempat. Ia diundang di sebuah rumah besar
dimana para masyarakat berkumpul di beranda. Beliau di dudukkan di
sebuah kursi kehormatan di bawah kanopi dari kain belacu putih dan
saputangan berwarna. Dukun akan datang memberikan doa sambil menaburkan
beras dari mangkuk di tangannya. Beberapa gong besar di pukul dan tarian
setempat diperagakan.
Wallace
tinggal di sebuah rumah bundar di desa ini. Beliau tidur dengan nyaman,
sementara setengah lusin tengkorak manusia tergantung di atas kepalanya.
Tengkorak ini diasap kering dan merupakan warisan adat mengayau yang
datang dari masa yang lebih tua lagi.
Gambaran
singkat di atas hanya satu dari sekian desa yang dikunjungi Wallace
dalam petualangannya di Kalimantan. Jika anda tertarik anda dapat
membeli buku “Borneo, Celebes, Aru: Menjelajah Kalimantan, Sulawesi
& Kepulauan Aru” karangan beliau yang telah diterjemahkan dengan
bagus oleh Anna Karina dan diterbitkan oleh Selasar Surabaya Publishing,
2010. Saya merekomendasikan buku ini karena deskripsi dan narasinya
yang sangat apik, seolah membawa anda langsung ke pedalaman pulau dan
hidup di sana di masa Darwin sedang sibuk menulis On the Origin.
Tahun 1703
Mundur 150 tahun ke belakang, kebudayaan di
pedalaman Kalimantan akan berubah dengan cepat. Suku-suku di Kalimantan
sebagian hidup dari berburu dan meramu. Masih banyak hewan besar di
hutan untuk diburu. Masyarakat lokal membangun rumah panggung tinggi di
tengah hutan, tempat dari beberapa puluh orang tinggal dalam satu atap.
Di sekitar rumah panggung maupun di beberapa tempat di dalam hutan
terdapat jebakan-jebakan untuk hewan yang mencoba masuk. Hewan ini jika
terjebak, akan menjadi salah satu makanan bagi masyarakat, selain hewan
ternak yang dibiakkan di bawah rumah panggung mereka. Salah satu bentuk
jebakan ini adalah tali panjang dengan kalung-kalung dari rotan yang
digantungkan rapat. Seorang pemburu di dalam hutan dapat mengejar hewan
buruan, biasanya rusa, hingga tersudut dan mencoba kabur lewat lubang
melingkar dari rotan tersebut. Seringkali leher mereka terjebak dan
akhirnya dapat ditangkap dengan mudah. Dalam waktu tertentu akan
diadakan perburuan massal ke dalam hutan.
Dalam waktu yang lebih jarang lagi, dimana terjadi konflik
antar suku, akan dijalankan ritual mengayau atau berburu manusia. Selain
sebagai resolusi konflik, mengayau juga dapat dijadikan usaha memikat
wanita. Seorang pemuda yang ingin melamar seorang gadis dapat
menghadiahi mas kawin kepala manusia dari suku lain. Mas kawin semacam
ini adalah mas kawin yang paling mahal nilainya karena menunjukkan kalau
sang pemuda rela bertaruh nyawa demi sang kekasih.
Hal ini terlebih lagi mengingat perhiasan
dan batu-batu mulia bukanlah barang yang sangat langka di Kalimantan.
Malahan kata Kalimantan sendiri berasal dari “Kali” dan “Intan” yang
merujuk pada kekaguman masyarakat pendatang ketika menemukan masyarakat
pedalaman yang rela menukarkan batu berharga ini dengan barang-barang
produksi dari luar pulau. Versi Inggris yang menyebut pulau ini sebagai
“Borneo” tidak seeksotis Kalimantan, apalagi nama ini berasal dari salah
kaprah ketika Inggris mendarat di kerajaan Brunei dan mengira satu
pulau ini adalah wilayah kekuasaan kerajaan kecil ini.
Kepala-kepala manusia hasil mengayau
kemudian dikeringkan lalu digantung atau dimasukkan ke dalam keranjang.
Kepala-kepala ini kemudian dilestarikan dan disimpan di beranda di
rumah-rumah yang besar atau digantung di langit-langit rumah bundar.
Ritual mengayau telah lama ditinggalkan di
Kalimantan akibat pengaruh eksternal maupun internal. Secara eksternal,
penyebab praktek ini ditinggalkan adalah misionaris Kristen dan
penjajahan. Di negara bagian Serawak, setidaknya di masa Wallace, hal
ini sudah tidak dilakukan lagi, dan tampaknya hal ini disebabkan desakan
dari pemerintah Inggris seperti halnya yang mereka lakukan pada praktek
Sati di India, yang dipandang bar-bar oleh bangsa Eropa. Di wilayah
Indonesia, pemerintah Belanda juga telah melakukan rapat besar para
kepala suku dari suku-suku asli di akhir tahun 1800an untuk menghentikan
kebudayaan mengayau. Masuknya agama Kristen juga mendorong lenyapnya
ritual mengayau dimana darah manusia diganti dengan darah babi sebagai
simbolisme atas hal yang sama.
Penutup
Kembali ke masa kini, dalam 450 tahun
telah terjadi sebuah perubahan besar dalam pola hidup masyarakat
pedalaman Kalimantan, mulai dari berburu, bercocok tanam, hingga
industri. Beberapa kebudayaan, seperti kebudayaan Eropa, mengalami
transisi ini dalam jangka waktu yang jauh lebih lama, hingga ribuan
tahun lamanya. Carl Sagan bercerita tentang bagaimana masalah yang
muncul akibat transisi kebudayaan yang terlalu cepat pada suku-suku di
negara jajahan Eropa. Pada tahap paling ekstrim, adalah kepunahan
suku karena penyakit dan pola hidup yang tidak sesuai dengan daya
dukung psikologis masyarakat. Kemampuan masyarakat pedalaman Kalimantan
untuk beradaptasi dengan cepat pada perubahan kebudayaan global
merupakan keunggulan tersendiri yang pantas untuk dikagumi.
SUMBER